Di Balik Harga Emas yang Melambung Tinggi Saat Pandemi
tirto.id - Sofia Marwan (26) kaget sekaligus senang. Nilai tabungan emas miliknya naik nyaris 100 persen seiring dengan kenaikan harga emas Aneka Tambang (Antam) yang menembus angka Rp1 juta per gram. Sofia pertama kali membeli emas untuk investasi tahun 2017, harganya Rp550 ribu/gram. Setahun kemudian, ketika beli emas lagi, harganya Rp600 ribu/gram, dan tahun lalu masih kisaran Rp700 ribu/gram. "Nah ini enam bulan, Januari sampai Agustus 2020, tinggi banget naiknya sampai Rp300 ribu. Dulu nunggu naik Rp200 ribu saja butuh waktu tiga tahun," jelas Sofia ketika berbincang dengan reporter Tirto, Senin (10/8/1010). Mereka yang relatif cukup lama berinvestasi emas tentu tahu betul bagaimana 2020 jadi tahun yang membahagiakan. Harga emas yang naik kencang membuat nilai investasi mereka naik signifikan. Mengutip situs resmi logammulia.com, harga emas batangan Antam masih berada di angka Rp771.000/gram pada 2 Januari 2020. Sejak saat itu harganya terus naik hingga menyentuh Rp808.000/gram pada 8 Januari. Harganya sempat turun ke Rp777.000/gram pada 24 Januari, sebelum kembali naik ke Rp813.000/gram pada 22 Februari dan terus melesat menjadi Rp879.000/gram pada 22 Maret.
Pada 22 Mei, harganya menyentuh Rp916.000/gram, 22 Juni Rp905.000/gram, lalu 22 Juli melesat menjadi Rp982.000/gram. Pada 28 Juli, harga emas Antam untuk pertama kalinya menyentuh level satu jutaan, tepatnya Rp1.022.000/gram, lalu menyentuh posisi tertinggi di Rp1.065.000/gram pada 7 Agustus 2020. Mengacu data tersebut, pada rentang 2 Januari hingga 7 Agustus 2020, harga emas Antam sudah naik Rp294.000/gram. Kenaikan ini jelas bukan tanpa alasan. Analis sekaligus Kepala Riset Monex Investindo Ariston Tjendra mengatakan kekhawatiran akan terjadinya krisis ekonomi membuat masyarakat berlomba-lomba mencari instrumen investasi yang aman. Emas jadi salah satu pilihannya. "Pertama sih karena ketakutan pasar karena adanya krisis ekonomi yang disebabkan oleh peningkatan penyebaran COVID-19 di seluruh dunia. Itu masalah utamanya, sampai sekarang COVID-19 masih belum bisa dikendalikan karena belum ada vaksin," katanya kepada reporter Tirto. Faktor kedua adalah gejolak ekonomi global yang dipicu memanasnya hubungan Amerika Serikat dan Cina. Hal ini dikhawatirkan memicu gangguan dalam rantai perdagangan global yang pada akhirnya mengganggu perekonomian dunia dan dampaknya dirasakan juga oleh Indonesia. "Karena negara lain sangat tergantung pada perekonomian ke dua negara ini," katanya. Tingginya permintaan emas sebagai instrumen investasi yang aman di tengah tingginya kekhawatiran krisis ekonomi karena pandemi bisa membuat harga logam mulia ini terus melambung. Ariston memperkirakan semua ini "memungkinkan harga emas akan terus naik sampai akhir tahun." "Perkiraan saja, kalau untuk ini 2.100 dolar AS/troy ons. Kalau dikonversikan ke rupiah yang melemah ke Rp15.200, itu mungkin Rp1.130.000/gram," ujar dia.
Bisa Turun Lagi Agar merasakan keuntungan riil dari situasi ini, Ariston menyarankan masyarakat untuk menjual sebagian emasnya. "Sebagian lagi disimpan dulu untuk mengikuti penguatan emas selanjutnya," katanya. Sementara bagi yang belum memiliki cadangan emas, ia menyarankan untuk tak terburu-buru membeli, apalagi kalau tujuannya mencari untung jangka pendek. Mereka harus juga memperhitungkan harga buyback (pembelian kembali) Antam. "Untuk beli sekarang harus hati-hati karena selisih buyback. Antar harga buyback dengan harga pembelian itu melebar. Harga beli dan harga jual beda Rp100 ribu/gram." Selain itu, masyarakat juga harus paham mengapa harga emas meroket tak terkendali, yaitu pandemi dan situasi ekonomi secara umum yang buruk. Maka jika situasi kembali normal, harga emas akan kembali ke posisi semula. "[Emas] bisa turun tajam. Itu risikonya. Bahkan bisa ke Rp800-700 ribuan/gram. Kalau sudah normal nanti orang akan pindah investasinya ke yang lain, misalnya ke saham," tandas Ariston.